Lentera Atma: Kisah Lagu Malam Kudus
Lagu “Malam Kudus” berawal dari sebuah kota yang indah bernama Salzburg di Austria. Di tengah semarak dan megahnya kota yang dipimpin oleh Prince Archbishop, tinggallah seorang penenun sederhana bernama Anna. Anna, sebatang kara di dunia ini, hidup sangat sederhana, hampir tak ada harapan untuk meningkatkan taraf hidupnya atau bahkan untuk menikah. Suatu ketika, ia jatuh cinta kepada seorang prajurit yang ditempatkan di Salzburg. Dari prajurit itu ia mengandung seorang bayi yang dilahirkannya pada tanggal 11 Desember 1792. Malangnya, sang prajurit tidak mau bertanggung jawab atas puteranya dan meninggalkan Anna serta sang bayi. Walau demikian, Anna menambahkan nama keluarga sang prajurit kepada nama bayinya, yang ia namakan Joseph Mohr. Menjadi seorang ibu tanpa menikah, dengan seorang anak haram, Anna harus menghadapi cemoohan dan penolakan masyarakat. Pada akhirnya, ia minta kepada algojo kota untuk menjadi wali baptis bayinya.
Anna memberikan yang terbaik yang mampu ia berikan bagi Joseph. Ia sadar bahwa pendidikan yang baik akan memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi puteranya. Imam paroki setempat mengetahui kecemerlangan Joseph dan juga bakatnya menyanyi. Ia mengatur agar Joseph dapat bersekolah di sekolah biara yang terkenal di Kremsmunster. Di sana, Joseph muda menonjol dalam pelajaran-pelajarannya. Di kemudian hari ia merasakan panggilan untuk menjadi seorang imam dan masuk seminari pada usia 16 tahun. Akhirnya, ketika siap untuk ditahbiskan pada usia 22 tahun, Joseph membutuhkan dispensasi khusus sebab ia tak mempunyai seorang ayah.
Joseph Mohr ditugaskan sebagai pastor pembantu di Gereja St. Nikolaus di Oberndorf, sekitar 10 mil barat laut kota Salzburg, di tepi Sungai Salzach (Gereja St. Nikolaus dihancurkan banjir pada tahun 1899, tetapi sebuah kapel peringatan berdiri di sana hingga sekarang). Sebuah paroki di mana ia ditempatkan sangat sederhana, imam parokinya keras dan hemat, begitulah halusnya.
Di sini, Pastor Mohr bersahabat dengan Franz Gruber. Gruber adalah putera seorang penenun yang kurang menghargai musik. Franz diharapkan untuk melanjutkan usaha dagang ayahnya. Meskipun ditentang sang ayah, Franz mulai belajar bermain gitar dan organ. Pastor paroki bahkan mengizinkan Franz untuk berlatih di gereja. Bakatnya pun segera dikenali dan ia dikirim untuk belajar musik secara resmi. Pada akhirnya, ia menetap di kota Oberndorf dengan bekerja sebagai seorang guru musik dan membina hidup berkeluarga dengan dua belas anak. Mohr dan Gruber saling berbagi dalam kecintaan mereka akan musik, mereka berdua bermain gitar.
Pada tanggal 23 Desember 1818, saat Natal hampir tiba, Mohr mengunjungi seorang ibu dengan bayinya yang baru lahir. Dalam perjalanan pulang ke Pastoran, ia berhenti di tepi sungai dan merenungkan peristiwa Natal yang pertama. Ia menulis sebuah puisi yang menggambarkan intisari peristiwa iman yang agung itu dan memberinya judul Stille Nacht, Beilige Nacht (Malam Sunyi, Malam Kudus). Dalam komposisinya, ia berhasil menangkap misteri inkarnasi dan kelahiran Kristus yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata: Bayi Yesus yang Kudus, yang adalah Kristus Sang Juruselamat, Putra Allah, dan Terang Sejati Allah, dilahirkan oleh Santa Perawan Maria dan memenuhi dunia dengan rahmat penebusan dari surga.
Sekembalinya ke paroki, ia dikecewakan dengan berita bahwa organ gereja rusak. Tikus-tikus yang rakus telah menggerogotinya melalui pengembus, melumpuhkan sistem embusan yang dibutuhkan pipa-pipa untuk menghasilkan musik. Karena Natal sudah di ambang pintu dan tanpa dana yang cukup untuk memperbaiki organ, umat khawatir Misa Natal tengah malam tidak akan meriah. Pastor Mohr bergegas menuju rumah sahabatnya, Franz Gruber, dan menceritakan kesedihannya. Ia menyerahkan puisinya kepada Gruber dan memintanya untuk menuliskan melodi atas puisi tersebut agar dapat dimainkan dengan gitar. Franz Gruber menyelesaikan tugas pada waktunya. Dalam Misa Natal tengah malam pada tahun 1818, dunia mendengarkan untuk pertama kalinya lagu yang sederhana namun agung, yang kita kenal sebagai lagu Malam Kudus.
Lagu Malam Kudus mendapat sambutan yang sangat baik dan dengan cepat menyebar ke seluruh Austria, sering kali secara gampang disebut sebagai A Tyrolean Carol. Frederick Wilhelmus IV, Raja Prusia, mendengarkan Malam Kudus dinyanyikan di Gereja Berlin Imperial dan memerintahkannya agar dinyanyikan di segenap penjuru kerajaan pada pesta-pesta dan perayaan Natal. Ironisnya, lagu tersebut menjadi terkenal tanpa penghargaan kepada para penggubahnya. Sebagian orang berpikir bahwa Michael Haydn, saudara dari komposer terkenal Franz Joseph Haydn, yang menuliskannya. Oleh sebab itu, Raja Frederick Wilhelmus, memerintahkan agar dicari penggubah yang sebenarnya.
Suatu hari, para utusan raja tiba di biara St. Petrus di Salzburg untuk menanyakan perihal penggubah lagu Malam Kudus. Felix, putera Franz Gruber, yang menjadi murid di sana, menemui mereka dan menceritakan kisah di balik lagu Malam Kudus serta mengantar mereka kepada ayahnya, yang sekarang menjadi pemimpin paduan suara di suatu paroki lain. Sejak saat itulah, keduanya, Mohr dan Gruber, diakui sebagai penggubah lagu Malam Kudus.
Pastor Joseph Mohr wafat dalam usia 56 tahun pada tanggal 4 Desember 1848 karena tuberculosis. Gruber wafat dalam usia 76 tahun.
Terjemahan lagu Malam Kudus dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Jane Campbell pada tahun 1863 dan dibawa ke Amerika pada tahun 1871, muncul dalam Buku Nyanyian Sekolah Minggu Charles Hutchins. Sementara terjemahan dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Yamuger (Seksi Musik Komlit KWI) pada tahun 1992.
Sementara kita mempersiapkan datangnya Natal, kiranya kita sungguh mencamkan dalam hati kata-kata yang terdapat dalam lagu Malam Kudus dan semoga pesan yang disampaikannya kita amalkan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan-perbuatan kita.
Sumber: “Straight Answers: What Can You Tell Me about the Song ‘Silent Night’?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com. Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.
Image by Andreas Lischka from Pixabay
No Comments