
Lentera Atma: Hidup dalam Kasih
Manusia berjalan menuju arah dan tujuan masing-masing. Pernyataan tersebut cukup membuktikan bahwa dunia dipenuhi dengan perbedaan. Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, mimpi, serta luka yang tak sama. Kita mungkin berjalan di jalan yang sama, namun tidak pernah benar-benar menapaki batu yang sama, atau menghadapi angin dari arah yang serupa.
Namun, perbedaan yang semestinya menjadi kekayaan, justru kerap berperan sebagai penyebab pertikaian. Perbedaan pendapat, perbedaan keinginan, perbedaan prinsip, semua itu tak jarang menjadi pemicu konflik yang berujung pada saling menyakiti, saling menjatuhkan. Alih-alih belajar mendengar dan memahami, manusia lebih cepat menyalahkan dan mencurigai.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin gaduh, manusia cenderung haus akan pengakuan. Kita ingin diakui sebagai yang paling benar, paling tahu, paling suci. Kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan, tak hanya dalam pencapaian, tapi juga dalam menyuarakan pendapat dan menghakimi. Seolah tanpa cela dan dosa, kita duduk di kursi hakim, dengan jari menunjuk dan kata-kata tajam menusuk.
“Jangan kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Jangan kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu akan diampuni” (Lukas 6:37). Kutipan ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah undangan untuk menurunkan senjata, membuka hati, dan hidup dalam belas kasih. Ini bukan ajakan untuk menjadi lemah, tetapi untuk menjadi kuat dalam cara yang paling mulia lewat pengampunan.
Pengampunan bukanlah kekalahan. Ia bukan tanda bahwa kita menyerah, melainkan bukti bahwa kita memilih jalan yang lebih tinggi. Jalan yang tidak diambil oleh banyak orang, karena terlalu sulit, terlalu sunyi, terlalu berat. Namun justru di jalan itulah jiwa kita ditempa. Di sanalah kita belajar sabar, belajar memahami, belajar untuk tetap mengasihi meskipun disakiti.
Ketika kita memilih untuk mengampuni, kita sedang membebaskan diri. Kita memutus rantai dendam dan luka, serta memberi ruang bagi kasih untuk bekerja. Mengampuni bukan berarti melupakan, tapi memberi makna baru pada luka bukan lagi sebagai bekas pukulan, tapi sebagai titik temu antara kelemahan manusia dan kekuatan kasih Tuhan.
Maka, marilah kita memilih jalan yang lebih mulia. Walau sulit dan penuh pengorbanan. Walau lelah dan ingin menyerah. Jalan kesabaran, jalan pengertian, serta jalan pengampunan. Sebab pada akhirnya, bukan seberapa keras kita membalas, tapi seberapa besar kita mengasihi, itulah yang akan dikenang.
Karena di sanalah, di jalan pengampunan yang sunyi dan berat itu, kita akan menemukan wajah Allah, Ia yang tidak pernah berhenti mengampuni, meskipun kita terus mengulangi kesalahan. Ia yang menyambut bukan dengan tudingan, tapi dengan pelukan. Maka, mari kita belajar dari-Nya untuk mengasihi, meski tidak dimengerti, mengampuni, meski belum diminta dan terus melangkah, meski jalan terasa menanjak.
Image by Ylanite Koppens from Pixabay
No Comments