
Coretan Mahasiswa: Bencana Tata Kelola
Pada 9-10 September 2025, Bali diguyur hujan sangat ekstrem yang memicu banjir di banyak titik. BMKG menyebut beberapa kabupaten/kota seperti Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Klungkung mengalami hujan lebat bahkan ekstrem. Kerusakan infrastruktur juga besar. Sebanyak 163 titik banjir, 64 titik tanah longsor, dan puluhan bangunan rusak atau roboh termasuk rumah, pura, dan fasilitas publik.
Bali selama ini dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia dengan pantai-pantai indah dan budaya yang khas. Namun, di balik citra itu, pulau ini menyimpan persoalan serius yang kerap luput dari sorotan seperti banjir yang baru saja melanda kawasan perkotaan. Dari perspektif Teknik Sipil, persoalan ini bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi atau perubahan iklim, melainkan lebih dalam karena buruknya tata kelola kota. Urbanisasi pesat yang ditandai dengan pembangunan hotel, villa, serta fasilitas pariwisata lain membuat lahan resapan air kurang drastis. Lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air justru berubah menjadi kawasan komersial.
Sistem drainase di banyak kawasan perkotaan Bali juga tidak memadai. Sebagian besar saluran air sudah berusia tua, sempit, dan tidak diperbarui sesuai pertumbuhan kota. Drainase perkotaan modern dengan pendekatan berkelanjutan seperti sumur resapan, kolam retensi, maupun permukaan berpori belum banyak diterapkan. Padahal infrastruktur hijau semacam ini terbukti mampu mengurangi limpasan dan menahan air sementara. Lemahnya implementasi tata ruang memperburuk keadaan.
Walaupun regulasi tata ruang sudah dibuat, kenyataannya pembangunan di sempadan sungai atau kawasan rawan banjir tetap saja terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dan penegakan aturan kalah oleh kepentingan ekonomi, terutama di sektor pariwisata. Akibatnya, jalur air alami terputus, kapasitas sungai menurun, dan banjir menjadi semakin sering.
Perubahan iklim dengan curah hujan ekstrem hanya memperparah situasi yang sudah rapuh. Kota yang memiliki sistem drainase baik, ruang resapan cukup, dan tata ruang disiplin seharusnya mampu menghadapi hujan deras. Namun Bali justru menunjukkan sebaliknya. Banjir yang terjadi adalah bukti nyata kegagalan dalam perencanaan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan. Solusi yang bisa ditempuh bukan hanya perbaikan fisik seperti memperbesar kapasitas saluran atau memperdalam sungai, tetapi juga penerapan infrastruktur hijau dan pengawasan tata ruang yang lebih ketat. Edukasi kepada masyarakat dan pelaku pariwisata juga penting agar pembangunan dilakukan dengan prinsip berkelanjutan, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek.
Dengan demikian, banjir di Bali sebetulnya bukan sekadar bencana alam, melainkan hasil dari tata kelola kota yang buruk. Citra pulau yang selama ini dianggap sebagai surga dunia bisa runtuh jika masalah ini terus dibiarkan. Dari perspektif Teknik Sipil, banjir di Bali adalah pengingat bahwa pembangunan kota harus seimbang antara kepentingan ekonomi, kebutuhan teknis, dan kelestarian lingkungan. Tanpa perencanaan yang bijak, kemajuan yang tampak hanya meninggalkan masalah jangka panjang bagi masyarakat.
Image by Fathromi Ramdlon from Pixabay
No Comments