Kisah Penerima Beasiswa: Tumbuh Bersama Keberanian
Nama saya Amelberga Bening Gayatri, biasa dipanggil Bening, seorang perempuan Jogja yang lahir di Sleman pada 29 September 2006. Sejak kecil, saya dikenal sebagai anak yang pendiam. Di bangku TK, saya lebih sering duduk di bangku favorit, sambil memandangi teman-teman berlarian di halaman sekolah. Saya bukan anak yang mudah memulai percakapan. Saat guru bertanya, saya menjawab seperlunya saja, bukan karena tidak tahu, tapi karena takut salah dan malu didengar. Dunia kecil saya waktu itu diisi dengan keheningan dan pengamatan. Saya lebih nyaman melihat, mendengar, dan menyimpan semuanya dalam hati.
Memasuki level dua, yakni Sekolah Dasar, sifat itu ternyata masih sama, tak banyak berubah. Saya masih menjadi siswi yang lebih suka duduk di barisan belakang, mencatat rapi, dan jarang mengangkat tangan saat guru bertanya. Saya sering kagum melihat teman-teman yang tampak percaya diri berbicara di depan kelas. Dalam hati, saya ingin seperti mereka, tapi ada sesuatu yang menahan. Saya tumbuh dalam kesederhanaan, dan sejak kecil terbiasa untuk tidak terlalu menuntut. Akibatnya, saya pun menjadi terbiasa untuk menerima posisi di balik layar, meski sebenarnya ada keinginan besar untuk berani tampil.
Semua mulai berubah ketika saya memasuki masa SMP. Lingkungan baru memberi saya ruang untuk mencoba menjadi seorang yang berbeda. Saya masih pendiam, tapi mulai belajar mengambil peran kecil menjadi pengurus kelas, menjadi dewan penggalang, dan mencoba berbicara lebih berani di lingkungan sekolah. Walau sering gugup, saya merasa bangga setiap kali bisa melewati batas yang sebelumnya terasa sulit untuk terjadi. Dari sana saya mulai paham bahwa keberanian tidak datang begitu saja.
Saat SMA, saya mulai lebih aktif berorganisasi. Saya bergabung dalam kepanitiaan sekolah, mengikuti perlombaan menyanyi solo, dan kegiatan sosial di lingkungan sekitar. Meskipun tampak aktif, sebenarnya saya masih berjuang melawan rasa takut itu. Saya sering merasa canggung di lingkaran pertemanan yang mudah bergaul. Ada suatu masa saya merasa tidak pantas untuk menjadi bagian dari lingkaran tertentu. Namun, saya belajar bahwa berani tidak selalu berarti banyak cakap dan menonjol. Terkadang, berani berarti tetap hadir, meskipun hati masih gemetar. Dari pengalaman itu, saya menyadari bahwa menjadi aktif bukan soal seberapa banyak bicara, tapi seberapa tulus kita ingin berkontribusi.
Ketika saya melangkah ke dunia perkuliahan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saya seperti mengulang bab lama dari masa kecil saya. Lingkungan baru, wajah-wajah baru, dan rasa asing yang sama membuat saya kembali merasa kecil. Di semester awal, saya sering merasa canggung dalam kelompok belajar. Ada rasa takut salah, takut ide saya tidak diterima, atau bahkan dianggap kurang maju. Tapi di sisi lain, ada dorongan dalam diri untuk tidak mengulang versi saya yang dulu, yang diam dan bersembunyi.
Perlahan, saya mulai belajar membuka diri. Saya mulai mencoba membuka pembicaraan, mengajukan pendapat, dan menerima bahwa tidak semua orang harus selalu setuju. Saya belajar bahwa kepercayaan diri bukan berarti tidak pernah gugup, melainkan tetap melangkah walau gugup. Sedikit demi sedikit, saya mulai menemukan kenyamanan dalam berinteraksi. Saya bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi (HIMSI) dan komunitas Garuda Katolik. Dari sana, saya belajar bagaimana bekerja sama dengan orang lain, mengelola waktu, dan tanggung jawab.
Namun, satu hal yang tetap menjadi tantangan hingga kini adalah bergaul. Saya suka berorganisasi, mengatur konsep, dan menjadi bagian dari tim, tetapi sering kali saya merasa sulit untuk benar-benar berbaur dalam sisi sosialnya. Saya bisa bekerja sama dengan baik, tetapi tidak selalu mudah untuk dekat secara personal. Pernah suatu kali saya merasa iri melihat orang lain bisa cepat akrab, sementara saya masih sibuk mengolah kalimat sebelum berbicara. Saya memang bukan orang dengan banyak kata, tetapi saya konsisten untuk mau berusaha dan berani mencoba. Saya menemukan keberanian dalam tindakan kecil, dan dari proses itulah saya mulai mengenal diri saya yang sebenarnya.
Kini saya menyadari, menjadi berani bukan berarti mengubah siapa diri kita, melainkan berani untuk menerima diri sendiri apa adanya, sambil terus tumbuh menjadi versi yang lebih baik. Saya belajar bahwa suara yang lembut pun bisa membawa pengaruh, asal disampaikan dengan tulus hati. Keberanian bukan hanya milik mereka yang lantang berbicara, tetapi juga milik mereka yang mau berusaha. Saya masih berkutat dengan proses itu, proses untuk terus berani. Berani untuk melangkah ke depan, berani mengambil kesempatan, dan berani percaya bahwa meski perjalanan saya dimulai dari seorang anak pendiam, saya bisa menjadi seseorang yang berarti. Bukan dengan cara mengubah kepribadian saya, tetapi dengan terus memperjuangkan keberanian.
Yogyakarta, 25 Oktober 2025
Amelberga Bening Gayatri
Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi UAJY Angkatan 2024
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-9











No Comments