KAMAJAYA Scholarship / Opini  / Opini: Teknologi dan Demokrasi

Opini: Teknologi dan Demokrasi

Hampir semua hal dalam kehidupan kita sekarang berhubungan dengan teknologi. Dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, kita tak pernah lepas dari teknologi. Media sosial jadi tempat kita berbagi cerita, mengekspresikan pendapat, bahkan berdebat soal hal-hal yang kadang remeh, tapi kadang juga hal yang serius seperti politik dan keadilan sosial.

Menariknya, teknologi sekarang bukan hanya untuk tempat kita berkomunikasi tetapi juga ruang demokrasi baru. Dulu tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bersuara di ruang publik tetapi sekarang satu postingan di media sosial bisa dijangkau oleh ribuan orang. Kita bisa menyampaikan opini, mendukung gerakan sosial, mengkritik kebijakan pemerintah tanpa harus turun ke jalan.

Di satu sisi, ini hal yang luar biasa. Teknologi membuat demokrasi jadi lebih hidup dan terbuka. Banyak gerakan positif lahir dari dunia maya mulai dari kampanye lingkungan, isu kemanusiaan, sampai gerakan mahasiswa yang menyuarakan perubahan. Semua itu menunjukkan bahwa anak muda bisa berperan aktif lewat ruang digital.

Tapi di sisi lain, dunia digital juga bisa menjadi bumerang untuk kita. Kita sering melihat perdebatan yang malah berubah menjadi saling serang satu sama lain. Banyak orang yang terjebak dalam “gelembung informasi” alias hanya mau mendengarkan yang sejalan dengan pikiran mereka. Akibatnya, ruang diskusi jadi sempit dan perbedaan pendapat dianggap salah. Belum lagi maraknya berita palsu yang menyebar begitu cepat, kadang tanpa sempat kita cek kebenarannya.

Masalahnya bukan hanya di teknologi saja tapi juga di cara kita menggunakannya. Internet seharusnya memperluas wawasan, tapi sering kali justru mempersempit cara pandang kita. Banyak dari kita lebih fokus pada mencari pembenaran bukan kebenaran. Kita terbiasa membaca judul tanpa menelusuri isi dan akhirnya berdebat tanpa dasar yang kuat. Padahal, demokrasi sejati membutuhkan masyarakat yang mau berpikir kritis dan terbuka terhadap pandangan yang berbeda.

Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi contoh demokrasi digital yang sehat. Pengguna internetnya banyak dan anak muda juga aktif berpendapat. Tapi sayangnya, literasi digital kita belum seimbang dengan antusiasmenya. Banyak yang masih mudah terprovokasi atau malas mencari informasi yang benar. Padahal, demokrasi tidak akan kuat kalau masyarakatnya gampang percaya tanpa berpikir kritis.

Selain itu ada hal lain yang sering terlupakan yaitu etika digital. Di dunia maya, kita sering merasa lebih bebas karena tidak bertatapan muka secara langsung. Tapi kebebasan tanpa tanggung jawab bisa berubah menjadi kebablasan. Komentar kasar, ujaran kebencian, dan penghinaan sering dianggap wajar padahal itu bisa merusak budaya dialog yang sehat. Demokrasi membutuhkan ruang yang aman untuk bebicara bukan medan pertempuran yang penuh dengan amarah.

Menurut saya, menjadi warga digital yang baik bukan hanya soal update status atau ikut trend viral saja tetapi juga tentang tanggung jawab. Kita perlu belajar menahan diri sebelum membagikan informasi, menghormati pendapat orang lain dan juga berani berkata jujur walaupun berbeda. Pemerintah dan lembaga pendidikan juga seharusnya ikut mendorong literasi digital masyarakat agar masyarakat semakin bijak dalam menggunakan teknologi.

Di sisi lain, platform media sosial juga mempunyai tanggung jawab yang besar. Mereka bukan hanya penyediakan ruang tapi juga harus menjaga arus informasi. Sudah seharusnya algoritma yang mereka gunakan tidak hanya mengejar popularitas tetapi juga memperhatikan dampak sosial dari konten yang disebarkan. Platform seharusnya membantu menciptakan lingkungan digital yang mendorong empati dan pikiran kritis bukan sekadar adu sensasi saja.

Pada akhirnya, teknologi itu seperti pisau bermata dua. Ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan atau jurang yang memisahkan. Semua itu tergantung bagaimana kita memakainya. Kalau kita memakainya dengan bijak maka dunia digital bisa menjadi ruang demokrasi yang lebih terbuka, inklusif, dan beradab. Demokrasi sejati bukan hanya tentang siapa yang paling keras bicaranya tetapi siapa yang paling mau mendengarkan.

Yogyakarta, 6 November 2025

Agatha Anggun Widyasmara
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UAJY Angkatan 2023
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-9

Image by Gerd Altmann from Pixabay

No Comments

Post a Comment

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Tanya Beasiswa KAMAJAYA