KAMAJAYA Scholarship / Opini  / Opini: Krisis Empati dalam Kehidupan Perkotaan, Ketika Kepedulian Kehilangan Ruang

Opini: Krisis Empati dalam Kehidupan Perkotaan, Ketika Kepedulian Kehilangan Ruang

Kehidupan perkotaan sering dibanggakan sebagai simbol kemajuan: akses teknologi, layanan publik modern, hingga peluang ekonomi yang besar. Namun, ada sisi lain yang terlupakan: hilangnya empati di tengah gemerlap kota. Manusia yang tinggal berdempetan dalam apartemen justru hidup dengan hati yang saling berjauhan.

Psikolog dari University of Michigan, Sara Konrath, menemukan bahwa tingkat empati pada generasi modern menurun hingga 40 persen dalam dua dekade terakhir. Salah satu penyebab utamanya ialah gaya hidup serba cepat dan individualistis di kota-kota besar. Kita sering melihat kasus seperti ini: seseorang jatuh dari sepeda motor, tetapi pengendara lain justru menambah kecepatan agar perjalanan tidak tertunda. Seorang ibu menggendong bayi yang menangis di bus kota, tetapi semua penumpang menunduk menatap layar HP, seolah-olah tidak mendengar.

Pada tahun 2023, sebuah kasus seorang laki-laki yang pingsan di trotoar Jakarta menjadi viral di media sosial. Banyak orang lewat di sampingnya tanpa peduli. Bantuan baru datang setelah videonya tersebar. Orang justru beraksi setelah kamera menyala, bukan setelah nurani bergetar, seolah-olah empati membutuhkan penonton.

Sosiolog Erich Fromm pernah berkata, “Masyarakat modern lebih suka memiliki daripada menjadi.” Kini, memiliki waktu untuk orang lain dianggap sebagai “kerugian”. Media sosial memang menghubungkan, tetapi hanya sebatas layar. Kita bisa mengetahui kabar teman yang jauh, tetapi justru tidak mengenal tetangga sendiri. Kedekatan semu itulah yang membuat empati melemah. Kita terbiasa menikmati kisah kesedihan orang lain sebagai hiburan singkat, lalu menggulir layar ke cerita berikutnya. Rasa peduli hanya bertahan beberapa detik hingga konten baru muncul.

Ketakutan yang Menghilangkan Keberanian untuk Peduli

Kejahatan jalanan dan penipuan berkedok bantuan memang nyata adanya dan menumbuhkan rasa curiga. Banyak warga kota takut terlibat, takut tertipu, takut menjadi korban berikutnya. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul saat melihat orang yang membutuhkan pertolongan adalah, “Apakah ini aman bagi saya?” Ketika rasa takut menang, rasa peduli kalah.

Empati bukan sekadar perasaan iba, melainkan kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan dan bertindak karenanya. Meski hidup di kota menuntut efisiensi, kepedulian tetap dapat tumbuh melalui hal-hal sederhana, misalnya menyapa tetangga yang jarang terlihat, menawarkan bantuan kecil meski tidak diminta, mendengarkan tanpa menghakimi dan mengalihkan perhatian dari layar saat berinteraksi langsung.

Pakar empati Jamil Zaki menyatakan, “Empati bukan bakat bawaan, melainkan pilihan yang kita perkuat setiap hari.” Jika kita memilih untuk peduli, kota akan terasa lebih manusiawi. Krisis empati adalah harga sosial dari kemajuan yang terlalu berfokus pada materi dan pencapaian pribadi. Kota boleh semakin maju, teknologi boleh semakin canggih, namun tanpa empati, kita hanya menjadi manusia yang hidup bersama, tetapi tidak saling terhubung.

Membangun gedung tinggi itu mudah. Membangun kepedulian itulah tantangan sesungguhnya.

Yogyakarta, 13 November 2025

Gabrielle Valentina Endrawati Sukardi
Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil UAJY Angkatan 2024
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-9

Image by MetsikGarden from Pixabay

No Comments

Post a Comment

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Tanya Beasiswa KAMAJAYA