Coretan Mahasiswa: #PrafForSumatera
Bencana yang melanda Sumatera kembali menorehkan luka mendalam bagi Indonesia. Banjir bandang, longsor, dan kerusakan akibat curah hujan ekstrem telah menghancurkan ribuan rumah, memisahkan keluarga, dan merenggut banyak nyawa. Dalam hitungan menit setelah video pertama beredar di media sosial, tagar #PrayForSumatera menjalar cepat di berbagai platform. Ratusan ribu orang membagikan ulang, memposting gambar hitam-putih, menambahkan caption doa, dan menyisipkan kalimat “semoga cepat pulih”. Tagar itu menjadi simbol belasungkawa kolektif. Namun di balik gegap gempita digital yang terlihat seperti gelombang kepedulian besar, terdapat satu kenyataan pahit: tidak semua yang ramai adalah bentuk empati yang nyata.
Dalam konteks bencana hari ini, media sosial merupakan pisau bermata dua di satu sisi menyebarkan informasi dengan cepat, membuat tragedi tidak lagi terkurung di batas geografis, dan menggerakkan emosi pengguna secara instan. Namun pada saat yang sama, media sosial juga menciptakan ilusi bahwa kepedulian bisa diselesaikan hanya dengan satu klik, satu repost, atau satu ucapan doa singkat. Fenomena ini dikenal sebagai performative empathy, ketika orang menunjukkan kepedulian lebih sebagai formalitas publik dibandingkan dorongan kemanusiaan yang sesungguhnya.
Ramainya tagar tidak otomatis mencerminkan besarnya solidaritas, sebab ketika kepedulian berubah menjadi sekadar konsumsi media, tragedi orang lain menjadi semacam acara yang diikuti karena sedang ramai, bukan karena benar-benar dipahami. Banyak orang menonton video rumah hanyut seolah menonton konten dramatis, mengomentari kesedihan korban seolah memberi reaksi terhadap seri televisi, lalu melanjutkan hidup tanpa melakukan apa-apa. Sementara itu, jauh dari layar ponsel, masyarakat Sumatera yang terdampak masih berjuang dalam kondisi memprihatinkan. Mereka kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan kadang kehilangan anggota keluarga. Mereka menghadapi hari-hari penuh ketidakpastian, tanpa tahu kapan bantuan tiba atau berapa lama proses pemulihan berlangsung. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat diringkas dalam satu tagar, tidak dapat ditangkap oleh satu potongan video, dan tidak akan selesai hanya karena trending di media sosial.
Tagar #PrayForSumatera memang penting sebagai bentuk dukungan emosional dan penyebaran informasi. Namun solidaritas sejati tidak boleh berhenti di sana. Empati baru memiliki nilai ketika diwujudkan dalam tindakan: membantu donasi melalui lembaga resmi, mengirim logistik, ikut menggerakkan kampanye bantuan, mengedukasi masyarakat tentang mitigasi risiko, atau setidaknya tidak membagikan informasi palsu yang memperkeruh keadaan. Lebih jauh lagi, bencana Sumatera bukan hanya soal banjir atau longsor. Tetapi juga menyoroti masalah struktural seperti: kerusakan lingkungan, deforestasi, pengelolaan hutan yang buruk, dan minimnya mitigasi bencana jangka panjang.
Kepedulian masyarakat seharusnya juga diarahkan pada pemahaman akar permasalahan ini, sehingga tragedi tidak berulang menjadi siklus tahunan yang selalu direspons dengan tagar yang sama, namun tanpa perubahan berarti. Krisis kemanusiaan ini memerlukan tindakan kolektif, bukan sekadar simpati digital. Masyarakat, pemerintah, hingga generasi muda perlu memahami bahwa kepedulian bukan hanya tentang ikut serta dalam percakapan online, melainkan hadir dalam aksi offline yang memberi dampak langsung. Empati yang tulus tidak mencari perhatian, tidak membutuhkan validasi, dan tidak menunggu bencana menjadi tren.
Pada akhirnya, #PrayForSumatera seharusnya menjadi awal, bukan akhir. Ia harus menjadi pemantik untuk gerakan yang lebih besar: solidaritas yang melampaui layar, kepedulian yang tidak memudar ketika tagar berganti, dan komitmen nyata untuk saling menjaga. Bencana boleh menjadi viral, tetapi kemanusiaan tidak boleh ikut tergerus oleh algoritma dan perhatian singkat dunia digital. Ketika tagar mulai mereda dan berita besar beralih ke isu berikutnya, para korban di Sumatera tetap menghadapi kenyataan yang panjang. Di titik inilah kita diuji: apakah kepedulian kita hanya berlangsung selama satu trending topic? Atau apakah kita mampu menunjukkan bahwa solidaritas tidak berhenti di kolom komentar?












No Comments