Opini: Karakter
Menurut Wikipedia, karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.
Menurut saya pribadi, karakter lebih menunjukan sifat/watak mendasar yang sudah melekat lama dalam pribadi seseorang. Sifat-sifat tersebut dapat terbentuk oleh karena faktor bawaan dari lahir seperti pelupa misalnya, yang melibatkan kinerja fungsi otak manusia, dan dapat juga terbentuk oleh karena faktor lingkungan sekitar yang kemudian membentuk suatu pola/kebiasaan.
Bagaimana peranan karakter dalam proses belajar seseorang?
Proses belajar dapat melibatkan banyak aspek, salah satunya adalah karakter. Menurut saya, proses seseorang dalam mengolah suatu informasi berbeda-beda. Ada yang daya tangkapnya cepat, dan ada juga yang lambat. Ketika seseorang dianugerahi Tuhan untuk memiliki otak cerdas dan daya tangkap yang tinggi, maka secara tidak langsung cara/pola belajar mereka juga menjadi berbeda. Saya termasuk yang daya tangkapnya biasa saja, atau justru dapat dikatakan kalau saya sangat lemot dalam menerima pelajaran baik waktu sekolah dulu maupun di kuliah sekarang.
Teringat kejadian lalu saat saya semester 7, saya harus bekerja kelompok dengan seorang teman saya yang saya tidak terlalu dekat. Salah dua dari mereka terkenal oleh karena kecerdasannya. Sama-sama pintar dan sepemikiran dalam pemecahan suatu masalah. Sayangnya, karakter mereka saling bertolak belakang. Ketika mendapati saya tidak paham materi, saya bertanya pada salah satunya, respon pertamanya terkesan baik, namun oleh karena “ke-lemotan” saya, nada bicaranya mulai meninggi sehingga membuat saya justru berhenti menanyakannya lagi. Berbeda dengan yang satunya, mengetahui saya seorang yang lemot, ia justru semakin memperdetail setiap penjelasannya hingga saya benar-benar paham. Dari situ, saya belajar pengelolaan emosi diri mempengaruhi karakter seseorang.
Apabila melihat diri saya sendiri, ketika mendapat perlakuan yang menyakiti hati saya, saya tentunya marah. Tapi itu dulu. Entah karena berubahnya pola pikir seiring bertambahnya usia, pengalaman, dan pembelajaran membuat saya menjadi lebih penyabar dan pemaaf. Hal tersebut baru-baru ini saya alami, ketika seorang terdekat saya tiba-tiba hilang disaat saya membutuhkan, dan tiba-tiba datang saat dia membutuhkan.
Kita yang menentukan jalan kita sendiri. Tinggalkan teman yang seperti itu, atau tetap topang dia pelan-pelan agar dia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Atau bahkan kita bisa saja pura-pura tidak pernah mengenalnya, bahkan kita bisa membalas dendam kita padanya. Keputusan seperti ini menjadi pilihan mana yang akan kita ambil untuk menyikapi keadaan. Kita tentunya mempertimbangkan, mana yang terbaik dan tidak merugikan kita nantinya.
Ketika kita dididik pada lingkungan yang baik, saya yakin, tidak mungkin seseorang akan mengambil keputusan yang jelek, apalagi untuk membalas dendam kembali pada orang yang pernah menyakitinya. Tapi sepertinya tidak juga, walau lingkungannya baik, kalau memang keinginan mendasarnya saja sudah kuat untuk membalas dendam, mau dikata apa? Menurut saya, seorang dengan kepribadian pendendam bukan berarti tidak bisa berubah menjadi pemaaf, hanya saja membutuhkan waktu dan kemauan dari diri sendiri.
Kata orang, karakter itu sudah tidak bisa diubah, sudah “dari sananya”. Tapi menurut saya tidak juga, karena kita hidup di lingkungan yang bisa saja berbeda-beda tiap waktunya, yang kemudian bisa saja terbentuklah pola-pola/kebiasaan baru.
Lalu bagaimana pengaruh diadakannya kegiatan seperti MOS, OSPEK, Inisiasi, Makrab, dan Kegiatan Kepemimpinan, dan kegiatan sosial lainnya pada pertumbuhan karakter seseorang?
Menurut saya, dengan diadakannya kegiatan seperti itu, dapat membentuk/memperbaharui karakter seseorang entah menjadi lebih baik atau justru semakin buruk. Saya ambil contoh dari dua pengalaman saya, saat SMA dan saat studi S1 saya di UAJY:
- MOS atau Masa Orientasi Siswa. Sudah menjadi buah bibir banyak orang bahwa kegiatan MOS selalu mengandung unsur kekerasan dan penjatuhan mental di masa awal Sekolah Menengah Atas. Setelah apa yang saya alami, saya akui itu memang benar. Kata-kata yang menyinggung, bentakan, bahkan kekerasan memang terjadi saat saya MOS. Tapi, kalau memang direnungkan, juga ada maksudnya mengapa panitia-panitia melakukan “hal tersebut”. “Demi Kebaikan Kami”, katanya. Memang secara tidak langsung (dan tidak semua siswa) membuat kami menjadi lebih inisiatif dalam melakukan sesuatu tanpa disuruh, lebih menghormati guru/karyawan, lebih sopan dalam berpakaian, lebih disiplin, dan lain sebagainya.
Namun, menurutku tidak perlu hingga melakukan kekerasan/bentakan yang membuat mental kami sangat down. Karena dengan cara tersebut mungkin kita tidak tahu seberapa dalam/seberapa membekasnya luka pada seseorang yang kemudian bisa memicu seseorang tersebut untuk “meniru”. Sehingga tidak heran, tradisi MOS yang seperti itu terjadi dari generasi ke generasi, oleh karena aksi “balas dendam”. - Inisiasi dan LDPKM. Memasuki dunia perkuliahan, bukan berarti karakter sudah mutlak dan tidak bisa diubah lagi. Menurut saya, justru di masa-masa seperti inilah, karakter kita harus berkembang, tentunya ke arah yang positif. Bukan positif hanya untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain dan sekitar kita. Inisiasi, sama-sama masa orientasi. Memiliki tujuan yang sama-sama untuk menjadi pribadi yang disiplin, menghormati, dll.
Bedanya, di UAJY ini kegiatan inisiasinya dikemas dengan cara menyenangkan dan tidak ada unsur-unsur mengundang kekerasan, bentakan, dsb. Mungkin sebagian mahasiswa berfikir “Inisiasi Garing”, tapi menurutku ini lebih baik, karena tentunya bisa meminimalisir akan adanya luka/perasaan yang membekas yang kemudian bisa terulang lagi untuk aksi “balas dendam”. Selain itu, dengan inisiasi yang menyenangkan seperti ini, membuat kita untuk bebas, panitia pun tidak perlu settingan dalam menjadi dirinya sendiri.
Sedangkan dalam kegiatan LDPKM dulu, masih sangat membekas kata-kata suster yang bisa memotivasi diri saya, terutama dalam pengendalian emosi. Cara penyampaian suster saat itu sangat begitu relax, seolah-olah menyadarkan sifat-sifat buruk kita yang harus kita tinggalkan. Karena setelah kuliahpun kita mau tidak mau akan ke dunia kerja, akan semakin jauh dari orang tua, dan semakin independen. Satu kalimat yang selalu tertanam pada saya sampai hari ini adalah “untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi”.
Kelihatannya simple atau sepele, tapi dari hal kecil kita dapat belajar, walau proses kita berbeda-beda, tapi Tuhan Yesus membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
Pada gambar cover di atas, saya sengaja memilih gambar bangunan lama yang telah berdiri sejak tahun 1970-an. Foto tersebut saya ambil ketika saya diminta menemani teman saya survey lapangan uji kelayakan bangunan di daerah Malioboro untuk analisis dan renovasi bangunan.
Bangunan tersebut adalah bekas hotel yang “mewah” pada jamannya. Terlihat dari desain exterior-nya maupun interior-nya, serta furniture-nya. Bangunan kuno tersebut mampu dan masih berdiri tegak tanpa kerusakan yang berupa keretakan dinding atau kerusakan yang vital. Bukan hanya itu, hal yang lebih mengejutkan adalah ketika mengetahui bangunan tersebut masih berdiri padahal syarat jumlah dan mutu material yang digunakan sangat jauh bila dibandingkan dengan peraturan jaman sekarang.
Untuk ke depannya, bangunan kuno ini akan direnovasi dan dirombak ulang menjadi hotel baru dengan desain baru yang sangat cantik. Alasan saya memillih foto tersebut adalah ketika “kata orang”, karakter tidak bisa diubah itu bertentangan dengan pendapat saya. Karena menurut saya, untuk menjadi baru kita tidak perlu mulai dari awal lagi, tapi kita bisa memperbaikinya, seperti bangunan kuno tersebut, masih bisa direnovasi. Tergantung bagaimana kemauan kita untuk memperbaharui karakter kita menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya.
Yogyakarta, 19 Maret 2020
Hana Ariana
Penerima Beasiswa KAMAJAYA
Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil UAJY Angkatan 2016
No Comments