Coretan Mahasiswa: Menciptakan Perdamaian
Selisih paham sering kali menimbulkan konflik. Orang-orang pun bersitegang dan saling serang, mulai dari perkataan hingga tindakan yang dapat membahayakan. Padahal, semuanya bermuara pada hal kecil yang sebenarnya dapat diluruskan, dijelaskan, dijernihkan. Tidak peduli siapa yang salah, tetapi membiarkan masalah hingga berlarut-larut adalah hal yang tidak sehat baik bagi jiwa maupun raga.
Lalu, apa solusinya? Mengucapkan kata maaf? Tentu permintaan maaf menjadi bentuk kerendahan hati untuk mengakui sebuah kesalahan. Namun, sering kali permintaan maaf hanya sekadar formalitas karena tekanan atau paksaan dari pihak yang berperan sebagai penengah ataupun penasihat. Lantas permintaan maaf hanyalah sebuah kata yang menguap di udara dan lenyap dimakan waktu. Pun juga ketika salah satu pihak mengucapkan permintaan maaf dengan penuh ketulusan, apakah kita dapat mengharapkan perdamaian atas konflik yang terjadi? Tentu, tidak.
Ketika timbul sebuah konflik, terutama jika kita yang menjadi akar dari semua ketegangan yang terjadi, pernahkah kita membiarkannya keruh tanpa memberi penjelasan, namun seiring dengan berjalannya waktu, semuanya kembali seperti semula? Permasalahan dari konflik yang timbul tiba-tiba hilang begitu saja. Kita tidak tahu pasti sejak kapan semuanya mereda. Tiba-tiba saja. Sekonyong-konyong. Dengan mendadak. Masalah itu seolah tidak pernah terjadi. Inilah hal yang lebih besar dari permintaan maaf, yaitu pengampunan yang menciptakan sebuah perdamaian. Tanpa kata maaf, tanpa itikad baik dari si pembuat salah, pengampunan telah menjadi pembebasan sehingga yang terikat dapat terlepas dan dapat kembali melakukan aktivitasnya tanpa rasa bersalah. Akan tetapi, ini bukan berarti kita tidak meminta maaf ketika berbuat salah, ya!
Image by Gerd Altmann from Pixabay
No Comments