
Coretan Mahasiswa: Jejak Perjuangan Kartini: Perempuan, Pendidikan, dan Perubahan
Setiap tanggal 21 April, kita akan mendengar nama Kartini disebut-sebut. Sekolah-sekolah mengadakan lomba berkebaya, media sosial dibanjiri ucapan Hari Kartini, dan tidak sedikit orang yang kembali mengingat kutipan terkenalnya: “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Namun, sering kali kita hanya berhenti sampai di sana. Padahal, kalau kita benar-benar menyelami jejak perjuangan Kartini, kita akan sadar bahwa warisannya jauh lebih besar dari sekadar seremonial tahunan atau sekadar simbol emansipasi perempuan.
Kartini adalah tokoh yang lahir dalam situasi penuh keterbatasan. Sebagai perempuan Jawa keturunan bangsawan, ia “beruntung” karena bisa mencicipi pendidikan dasar, meskipun hanya sampai usia 12 tahun sebelum akhirnya harus dipingit. Tapi justru dari balik tembok pingitan itu, pemikiran-pemikiran besar Kartini lahir. Ia menulis surat kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda, mengungkapkan keresahan tentang posisi perempuan pribumi, ketidakadilan sosial, dan impiannya tentang akses pendidikan untuk semua.
Kartini sangat sadar, pendidikan adalah fondasi dari perubahan sosial. Dalam salah satu suratnya, ia menulis bahwa perempuan yang terdidik akan melahirkan generasi yang lebih baik. Ini bukan sekadar slogan, tapi pemikiran progresif yang luar biasa untuk seorang perempuan muda di awal abad ke-20. Di zamannya, bahkan wacana bahwa perempuan boleh sekolah saja sudah dianggap subversif. Tapi Kartini melangkah lebih jauh. Ia tidak hanya ingin perempuan sekadar “boleh sekolah”, tetapi ia ingin perempuan bebas berpikir, bebas memilih jalan hidup, dan bebas mengambil peran di masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan hari ini?
Kini, perempuan bisa menempuh pendidikan hingga ke jenjang paling tinggi. Banyak perempuan menjadi pemimpin, akademisi, dan inovator. Kita hidup di zaman di mana perempuan bisa jadi siapa saja; dokter, pengacara, peneliti, aktivis, bahkan presiden. Tapi bukan berarti perjuangan Kartini selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.
Masih ada anak-anak perempuan di daerah terpencil yang harus putus sekolah karena menikah muda. Masih ada budaya patriarki yang membatasi ruang gerak perempuan. Masih ada kesenjangan upah, kekerasan berbasis gender, dan stereotip yang menekan perempuan untuk tampil “sempurna” menurut standar masyarakat. Kartini sudah memulai langkah pertama. Sekarang giliran kita yang melanjutkannya.
Sebagai mahasiswa, kita punya tanggung jawab moral. Kampus bukan cuma tempat mencari gelar, tapi juga tempat membangun kesadaran dan keberanian untuk bersuara. Di sinilah tempat kita belajar melihat ketidakadilan, mempertanyakan sistem, dan memperjuangkan nilai-nilai yang dulu dibela mati-matian oleh Kartini: keadilan, kesetaraan, dan pendidikan yang inklusif.
Menjadi Kartini di zaman sekarang tidak harus mengenakan kebaya dan sanggul. Menjadi Kartini berarti berani berpikir kritis, berani menantang norma yang mengekang, dan berani memperjuangkan hak untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dan itu tidak hanya berlaku untuk perempuan. Laki-laki pun harus ikut dalam perjuangan ini, karena emansipasi bukan hanya isu perempuan, tapi isu kemanusiaan.
Kartini pernah berkata, “Bukan saja kaum wanita yang harus kita usahakan untuk memajukannya, melainkan seluruh bangsa.”
Kalimat itu sangat relevan hari ini. Karena pendidikan bukan hanya untuk kaum perempuan, tapi untuk seluruh rakyat. Dan perubahan yang diimpikan Kartini, bukan hanya perubahan bagi perempuan, tapi perubahan bagi seluruh masyarakat.
Maka, ketika kita memperingati Hari Kartini, mari kita rayakan bukan dengan seremoni kosong, tapi dengan aksi nyata. Entah itu dengan belajar lebih giat, menyuarakan isu-isu sosial, atau sekadar memperlakukan satu sama lain dengan lebih adil dan setara. Jejak perjuangan Kartini sudah ada. Tinggal kita mau berjalan di atasnya atau tidak.
No Comments