Penerima Beasiswa KAMAJAYA : Chikita Adelya Setiawan
Chikita Adelya Setiawan
Tanggal Lahir:
Kota Asal:
Studi:
27 September 1997
Tangerang
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi semester 11 (Agustus 2021)
Chikita Adelya Setiawan
Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UAJY Prodi Ilmu Komunikasi
Tidak Menyesali Susah Payah Kuliah Sambil Bekerja
Nama saya Chikita Adelya Setiawan, lahir di Tangerang pada tanggal 27 September 1997. Saya besar di Tangerang Selatan dengan ibu yang asli berasal dari Jakarta dan papa saya yang asli dari Bangka Belitung. Saya memiliki keturunan berdarah chinese, namun saya akrab dengan kebiasaan dan gaya sunda-betawi sebab saya lebih dekat dengan keluarga ibu saya dibandingkan keluarga papa yang hampir semuanya masih tinggal di Sungailiat, Bangka Belitung.
Papa saya baru saja meninggal di akhir tahun 2020 kemarin, bukan karena COVID-19, melainkan karena penyakit sirosis hati yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi selain dengan cangkok hati. Donor hati di Indonesia masih lumayan sulit, lama, dan harus masuk antrian panjang. Biaya yang dibutuhkan juga amat besar, bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Ternyata, Papa tidak bisa menunggu selama itu, papa saya meninggal di rumah dalam waktu yang cepat. Saat papa drop terbaring di kasurnya, ada Ibu dan keluarga yang menemaninya. Sayangnya yang tidak ada di sampingnya saat ia tidak ada adalah anak-anaknya, saya, dan kakak saya. Menyesal tidak berujung hingga sekarang mengingat bahwa saya tidak hadir di masa-masa terakhirnya. Namun, ibu saya selalu mengingatkan bahwa yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah sering berdoa untuknya. “Papa akan mengerti,” kata ibu saya.
Saya anak kedua dari dua bersaudara, kakak saya laki-laki yang beda lima tahun jarak usianya, bernama Ryan Rezky Setiawan. Ia kini sudah bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang minyak bernama Cargill. Dulu, ia alumni dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan 2010. Di situlah pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Yogyakarta dan menyukai kota ini. Saya pun bertekad untuk kuliah di kota ini, di mana pun universitasnya.
Tahun 2015 merupakan tahun masuk perkuliahan. Seperti kakak saya dulu, saya pun menginginkan universitas negeri. Namun, tidak berjodoh. SBMPTN saya tidak berhasil dan membuat saya harus langsung melaksanakan rencana kedua, yaitu mendaftar di universitas swasta yang tersedia. Saya masih tetap ingin kuliah di Yogyakarta, saya mencari universitas swasta yang unggul lewat internet dan muncul Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sebelumnya, saya hanya tahu Universitas Atma Jaya yang ada di Jakarta, sempat mengira bahwa ada kaitannya dengan yang di Yogyakarta. Namun ternyata, sudah tidak ada kaitan sejak lama. Saya tahu hal ini dari program inisiasi kampus waktu perkuliahan semester pertama.
Berbicara tentang bagaimana diri saya sebelum kuliah, erat kaitannya dengan fakta bahwa saya besar di lingkungan sekolah Katholik selama 12 tahun, tepatnya di sekolah swasta SD-SMP-SMA Stella Maris BSD. Besar di lingkungan dan teman-teman yang mayoritas beragama Katholik dan Kristen, sedangkan saya memeluk agama Buddha, lumayan mempermudah saya untuk bergaul dan merangkul teman-teman sebaya saya. Dari kecil, saya memiliki kepribadian introvert. Namun, saya tetap bisa bergaul dengan yang memiliki intensitas bertemu tinggi dan saya dapat merasa nyaman. Jika tidak nyaman, saya bisa secara verbal dan gestur akan menolak orang tersebut untuk menjauh dari saya. Jenjang SMP bisa dibilang saya lebih “supel” dalam bergaul, saya memiliki lebih banyak teman dari ekskul, lomba-lomba olahraga, organisasi OSIS, serta teman yang sudah menjadi sahabat sejak dari SD berhubung saya tidak pindah ke sekolah lain.
Masa-masa SMA mungkin yang paling membentuk saya, tiga tahun SMA benar-benar membuat saya memikirkan soal cita-cita. Jika saya kilas balik melihat diri saya ketika SMA, saya bukanlah anak remaja yang langsung tahu diri ini mau apa, kenapa saya mau hal tersebut, lalu apa langkah yang harus diambil, langkah mana yang perlu dihindari, bagaimana jika tidak berhasil, dan sebagainya. Saya perlu refleksi diri saat itu. Ditambah, saya merupakan orang yang ingin diberi nasihat dari orang-orang terdekat yang melihat saya dari luar, keunggulan dan kekurangan yang dilihat dari orang terdekat amat memberikan kekuatan bagi saya. Di SMA, saya mengambil jurusan IPA, dua tahun dengan teman-teman kelas yang menyenangkan. Stella Maris bukanlah sekolah favorit, persaingan antarsiswa pun tidak ketat, seperti yang saya dengar di kebanyakan sekolah negeri favorit atau swasta Katholik terkenal seperti Santa Ursula. Namun, saya memiliki teman-teman yang selalu membantu ketika saya selalu mendapat nilai jelek di Fisika atau Kimia, atau rela berulang kali menjelaskan tentang teori yang susah saya mengerti dengan penjelasan yang hanya sekali dua kali, karena jujur saja saya bukan siswa unggulan di kelas. Nilai akademik saya biasa-biasa saja, tetapi saya bisa bekerja keras dan memaksakan diri untuk bisa melakukan banyak hal.
Menginjak dunia perkuliahan, saya memutuskan untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Dengan pertimbangan bahwa saya memiliki ketertarikan pada jurnalistik. Jalur masuk waktu itu tersisa hanya jalur tes gelombang kedua di UAJY. Saya langsung mendaftar dan ke Yogyakarta dengan waktu yang ditentukan. Hasilnya, saya lolos jalur tes dan dengan waktu yang tidak terlalu lama ternyata sudah memulai perkuliahan yang diawali dengan program inisiasi tingkat fakultas dan kampus.
Saya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja mulai di semester 5 menjadi barista part time di sebuah kedai kopi daerah Demangan Baru, Yogyakarta. Saya jatuh cinta dengan dunia kopi hingga membuat saya ingin serius di dunia ini untuk tujuan karir di kemudian hari. Di tahun 2019, saya berhasil memenangkan Jogja Barista Championship dengan menjadi juara barista. Sebagai seorang perempuan, saya sangat bangga mampu bersaing di antara yang lainnya saat itu. Kemenangan ini menambah kepercayaan diri dan keuletan saya untuk menggeluti dunia kopi lebih dalam lagi. Akhirnya pertama kali dalam hidup, saya tahu apa yang saya inginkan.
Saya masih bekerja hingga saat ini, karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan saya untuk membiayai saya lagi semenjak papa saya meninggal. Ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga. Saya harus berjuang mencari uang minimal untuk biaya hidup saya sendiri agar dapat makan dan tempat tinggal. Namun, saya tidak menyesali susah payah mencari uang ini karena saya merasakan indahnya memakai uang hasil dari bekerja sendiri.
Banyak hal yang saya syukuri dengan diberi kesempatan belajar di jenjang kuliah, terutama dari diskusi-diskusi kritis di kelas kuliah yang saya pikir amat membuka pandangan dan sudut pandang. Kuliah merupakan tanggung jawab yang 100% saya rasakan bahwa sepenuhnya kontrol ada di tangan saya. Saya bukan lagi anak SMA yang segala sesuatunya perlu diurus oleh orang tua. Kuliah benar-benar mandiri. Kuliah artinya harus penuh tekad. Saya harus menyelesaikan kuliah saya dengan baik dan lancar dengan bantuan Beasiswa KAMAJAYA yang berharga ini.
No Comments