KAMAJAYA Scholarship / Coretan Mahasiswa  / Coretan Mahasiswa: Pendidikan sebagai Jalan Iman dan Kemanusiaan

Coretan Mahasiswa: Pendidikan sebagai Jalan Iman dan Kemanusiaan

Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momen penting yang tidak sekadar menandai hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh pelopor pendidikan nasional, tetapi juga menjadi saat yang penuh makna untuk merenungkan wajah pendidikan Indonesia dewasa ini. Sebagai mahasiswa Katolik, saya melihat Hardiknas bukan hanya sebagai perayaan nasional, tetapi juga sebagai panggilan untuk menimba hikmat dari nilai-nilai injil, ajaran sosial Gereja, serta warisan luhur pendidikan Katolik yang memanusiakan. Pendidikan, dalam terang ajaran Gereja Katolik, bukan hanya sarana untuk memperoleh ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan bagian dari martabat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei), maka memperjuangkan pendidikan yang adil, merata, dan membebaskan, bukan hanya tugas sosial, melainkan juga panggilan iman.

Hari Pendidikan Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 305 Tahun 1959 untuk mengenang kontribusi Ki Hadjar Dewantara. Pemikirannya yang terkenal, yakni “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,” mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan sejati lahir dari keteladanan, pendampingan, dan pemberdayaan. Dalam ajaran Katolik, nilai-nilai ini sangat selaras dengan prinsip pendidikan Kristiani yang menekankan integritas, dialog, dan pelayanan. Santo Yohanes Bosco, misalnya, mengedepankan sistem preventif dalam mendidik kaum muda yaitu dengan kasih, bukan hukuman. Demikian pula, Paus Fransiskus dalam berbagai ensiklik seperti Laudato Si’ dan Fratelli Tutti menyerukan agar pendidikan menjadi jalan menuju persaudaraan, keadilan sosial, dan kesadaran ekologis.

Di balik semarak peringatan Hardiknas, realitas pendidikan kita masih menghadapi tantangan besar. Ketimpangan akses, kualitas pembelajaran yang tidak merata, serta digital divide menjadi permasalahan struktural yang perlu ditangani secara serius. Sebagai mahasiswa, saya pernah terlibat dalam pengabdian di daerah 3T, dan menyaksikan sendiri anak-anak yang harus berjalan puluhan kilometer demi menuntut ilmu, tanpa buku layak, tanpa guru tetap, bahkan tanpa listrik memadai. Dalam terang ajaran Katolik, pengalaman ini mengingatkan saya akan sabda Yesus dalam Injil Matius 25:40, “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.” Maka, memperjuangkan keadilan dalam pendidikan bukan semata aksi sosial, tetapi juga tindakan kasih yang berakar pada iman. Pendidikan harus mampu menjadi sarana keselamatan dan pembebasan bagi mereka yang terpinggirkan.

Mahasiswa memiliki tanggung jawab profetis untuk menjadi saksi nilai-nilai Kristiani dalam dunia pendidikan. Kita tidak cukup hanya menjadi intelektual yang berprestasi, tetapi juga harus menjadi pelayan yang peka terhadap jeritan mereka yang belum merasakan manfaat pendidikan. Peran ini bisa kita wujudkan melalui berbagai cara: mengajar anak-anak marginal melalui program Kampus Mengajar atau komunitas pelayanan, menciptakan media edukasi digital yang terjangkau dan inklusif, membangun jaringan solidaritas dan advokasi untuk kebijakan pendidikan yang berkeadilan, dan menghidupi budaya literasi, diskursus publik, dan etika akademik dalam kehidupan kampus. Semua ini sejatinya adalah perwujudan nyata dari “Evangelisasi dalam dunia modern,” seperti yang ditegaskan dalam dokumen Evangelii Gaudium: iman yang otentik tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial.

Pendidikan kita kini berada di era revolusi digital. Pandemi COVID-19 menjadi akselerator digitalisasi, dan kini teknologi seperti kecerdasan buatan, e-learning, dan akses terbuka telah mengubah wajah pendidikan. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa di tengah kemajuan ini, muncul pula tantangan serius: kesenjangan digital, hilangnya sentuhan manusiawi dalam proses belajar, serta ancaman terhadap privasi dan etika. Dalam konteks ini, Gereja mengajak kita untuk menyatukan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai Kristiani. Kemajuan teknologi tanpa nilai bisa menjadi bumerang, maka transformasi pendidikan tidak boleh hanya mengejar efisiensi, tetapi harus memanusiakan: mendorong kebenaran, keadilan, dan kasih.

Ajaran Katolik melihat pendidikan sebagai sarana formasi total: akal budi, hati nurani, dan iman. Dalam Gravissimum Educationis, tentang pendidikan Kristen ditekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk pribadi yang utuh, dewasa dalam iman, dan siap melayani. Pendidikan yang sejati harus menumbuhkan nilai-nilai Injil: kejujuran, disiplin, kerja keras, solidaritas, dan semangat pelayanan. Mahasiswa sebagai kaum muda Gereja harus menjadikan pendidikan bukan sekadar jalan menuju karier, tetapi juga jalan menuju kekudusan. Dalam setiap studi, kita dipanggil untuk menjawab panggilan Allah: “Apa yang hendak kamu perbuat dengan segala talenta dan ilmu yang telah Aku berikan?”

Pendidikan tidak hanya menjadi tugas negara atau lembaga formal. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa “setiap orang adalah guru dan setiap rumah adalah sekolah.” Ini sangat dekat dengan pandangan Gereja bahwa keluarga adalah “Gereja rumah tangga” (domestic church) di mana pendidikan iman dan nilai dimulai. Gereja juga memiliki tanggung jawab besar, baik melalui sekolah-sekolah Katolik maupun pelayanan pastoral untuk menguatkan nilai-nilai pendidikan. Maka, mahasiswa Katolik perlu menjalin kolaborasi dengan paroki, ordo atau tarekat religius, dan organisasi seperti OMK, agar dapat menciptakan sinergi nyata dalam pelayanan pendidikan terutama bagi mereka yang terpinggirkan.

Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momen pembaruan, bukan sekadar seremoni. Kita diajak untuk melihat pendidikan sebagai alat transformasi personal dan sosial dalam terang iman Kristiani. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau teknologi, tetapi tentang membentuk manusia yang utuh, yang berpikir kritis, berbelarasa, dan siap menjadi terang dan garam dunia. Sebagai mahasiswa Katolik, marilah kita menjadikan Hardiknas sebagai panggilan untuk terus bertumbuh dalam ilmu dan iman, memperjuangkan keadilan dalam pendidikan, dan menjadi saksi kasih Kristus di tengah dunia yang haus akan terang. Sebab dalam setiap langkah perjuangan pendidikan, kita tidak sendiri. Bersama Kristus yang adalah Guru Sejati yang mengajar dengan kasih, membebaskan dengan kebenaran, dan menyelamatkan dengan pengorbanan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025

No Comments

Post a Comment

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Tanya Beasiswa KAMAJAYA