
Opini: 10 Tahun Laudato Si’: Ekospiritualitas Mahasiswa dan Harapan bagi Bumi

Tahun 2025 menandai satu dekade sejak ensiklik Laudato Si’ diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 24 Mei 2015. Sebuah seruan mendalam yang tidak hanya memotret krisis ekologis dunia, tetapi juga menyoroti relasi manusia dengan ciptaan secara utuh dari aspek lingkungan, ekonomi, sosial, hingga spiritual. Dalam sepuluh tahun perjalanannya, Laudato Si’ telah menjadi landasan moral bagi komunitas Katolik dan masyarakat luas untuk membangun kesadaran ekologis yang mendalam. Di tengah krisis iklim, polusi, dan ketimpangan sosial yang terus memburuk, seruan ini justru semakin relevan dan mendesak untuk dihayati.
Dalam konteks perguruan tinggi Katolik, nilai-nilai Laudato Si’ memiliki tempat istimewa untuk ditanamkan dan dihidupi. Salah satu universitas yang mengemban panggilan tersebut adalah sebuah kampus Katolik di Yogyakarta yang telah menyatakan diri sebagai Kampus Laudato Si’. Identitas ini bukan sekadar simbol atau slogan belaka, melainkan refleksi dari komitmen jangka panjang terhadap pendidikan ekologi, sebuah pendekatan yang mengintegrasikan etika lingkungan, keadilan sosial, dan spiritualitas ke dalam kehidupan akademik.
Ensiklik yang menyentuh hati dan akal, Laudato Si’, yang berarti “Terpujilah Engkau” menyentuh akar terdalam relasi manusia dengan bumi. Ensiklik ini mengajak setiap orang untuk menyadari bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah bersama yang rapuh dan sedang terluka. Paus Fransiskus menyuarakan bahwa krisis ekologis tidak bisa dilepaskan dari krisis moral seperti keserakahan, individualisme, dan pola hidup konsumtif telah menciptakan kerusakan sistemik terhadap tatanan ciptaan. Pendidikan tinggi memiliki peran strategis untuk membentuk pola pikir baru yang lebih etis, inklusif, dan bertanggung jawab. Di lingkungan kampus, mahasiswa bukan hanya penerima ilmu, tetapi juga pelaku perubahan. Mereka adalah generasi yang akan menentukan arah masa depan, termasuk masa depan planet ini.
Mahasiswa sebagai Pelaku Perubahan Ekologis
Mahasiswa memiliki kekuatan untuk menjadi penjaga rumah bersama melalui berbagai bentuk keterlibatan yang konkret. Dalam semangat Laudato Si’, mereka dapat berkontribusi pada tiga bidang utama: literasi ekologis, aksi berkelanjutan, dan penguatan komunitas.
1. Literasi Ekologis yang Transformatif
Sebagai kaum terdidik, mahasiswa perlu menjadi corong literasi ekologis di tengah masyarakat yang masih minim kesadaran lingkungan. Pengetahuan yang dimiliki bukan hanya untuk dikoleksi, tetapi untuk dibagikan. Seminar tematik, diskusi lintas fakultas, pelatihan komunitas, hingga media sosial dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan isu-isu lingkungan dengan pendekatan ilmiah dan manusiawi. Literasi ekologis yang hidup akan menjadikan mahasiswa bukan sekadar pengamat, tetapi pelaku perubahan budaya. Bahasa yang membumi, narasi yang menyentuh, dan keterampilan komunikasi yang baik dapat menjembatani ilmu dengan praktik masyarakat sehari-hari.
2. Aksi Berkelanjutan dari Hal-hal Kecil
Tidak perlu menunggu menjadi ahli lingkungan untuk mengambil langkah nyata. Mahasiswa dapat memulai dari hal-hal kecil namun berdampak besar misalnya, membawa botol minum sendiri, memilah sampah, mengurangi konsumsi barang sekali pakai, atau dapat menginisiasi taman hijau di lingkungan tempat tinggal. Beberapa kelompok mahasiswa bahkan sudah mulai menerapkan pertanian perkotaan (urban farming), mengembangkan eco-brick dari limbah plastik, serta melakukan advokasi pengelolaan sampah berbasis komunitas. Aksi ini, jika dilakukan bersama dan konsisten, akan menciptakan ekosistem kampus yang lebih hijau dan sehat.
3. Kolaborasi Lintas Ilmu dan Komunitas
Salah satu kekuatan utama dalam mewujudkan visi ekologis adalah kolaborasi. Mahasiswa dari latar belakang teknik dan arsitektur dapat menciptakan desain bangunan hemat energi. Mahasiswa hukum dan komunikasi dapat memperjuangkan kebijakan ramah lingkungan melalui kampanye advokasi. Di sisi lain, mahasiswa bioteknologi dan pariwisata bisa berinovasi dalam pengembangan ekowisata yang berbasis pelestarian lingkungan. Tidak kalah penting adalah keterlibatan mahasiswa dalam organisasi lintas iman dan lintas kampus. Komunitas lintas kepercayaan yang peduli lingkungan dapat membangun dialog spiritual dan sosial yang memperkuat kohesi sosial sekaligus membumikan spiritualitas ekologis.
Spiritualitas Ekologis: Menjadikan Iman sebagai Aksi
Sebagai bagian dari universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Katolik, mahasiswa diajak untuk menimba inspirasi dari iman dalam merawat bumi. Spiritualitas ekologis menekankan bahwa cinta pada lingkungan tidak hanya bersifat etis atau ilmiah, tetapi juga religius. Merawat bumi adalah bentuk ibadah, sebuah ekspresi kasih terhadap Sang Pencipta dan sesama makhluk hidup. Berbagai kegiatan rohani dapat menjadi sarana refleksi ekologis misalnya, misa lingkungan, retret bertema ciptaan, atau kontemplasi di alam terbuka. Doa dan aksi tidak boleh dipisahkan. Semakin dalam seseorang berakar dalam iman, semakin nyata pula kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Pertobatan ekologis yang diajukan oleh Laudato Si’ adalah pertobatan hati yaitu mengubah cara pandang terhadap bumi sebagai “sumber eksploitasi” menjadi “sahabat dan saudara”. Dalam kesadaran ini, mahasiswa dipanggil untuk menjadi pemimpin yang rendah hati, mampu mendengarkan jeritan bumi dan tangisan kaum miskin.
Transformasi ekologis bukan hanya soal individu, melainkan budaya kolektif dan sistem yang mendukung. Kampus sebagai taman harapan harus menjadi ruang hidup yang mencerminkan nilai-nilai Laudato Si’. Hal ini mencakup integrasi tema ekologi dalam kurikulum semua program studi, dukungan terhadap penelitian ramah lingkungan dan teknologi hijau, kemitraan dengan komunitas sekitar dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan pembentukan pusat studi atau laboratorium sosial ekologis berbasis iman. Dengan dukungan institusi, mahasiswa memiliki landasan yang kuat untuk bertumbuh sebagai pelopor perubahan sosial dan ekologis.
Sepuluh tahun Laudato Si’ adalah saat untuk berhenti sejenak, merefleksikan perjalanan, dan memulai babak baru dengan semangat yang diperbarui. Dunia membutuhkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berani memperjuangkan keadilan ekologis. Mahasiswa dari universitas Katolik seperti yang ada di Yogyakarta ini memiliki potensi luar biasa sebagai penjaga rumah bersama.
Tugas ini tentu tidak ringan, tetapi bukan mustahil. Dengan iman yang hidup, ilmu yang tajam, dan aksi yang berkelanjutan, mahasiswa dapat menjadi lentera harapan di tengah dunia yang gelap oleh kerusakan ekologis. Seperti pesan Paus Fransiskus, “Tidak akan ada perubahan tanpa pendidikan dan motivasi.” Maka, sekaranglah saatnya bergerak bersama untuk bumi yang lebih adil, lestari, dan penuh kasih.
Yogyakarta, 24 Mei 2025
Diah Ariyanti
Mahasiswa Program Studi Biologi UAJY Angkatan 2023
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-8
Image by eko pramono from Pixabay
No Comments