
Opini: Paus Leo XIV dan Harapan Gereja di Mata Mahasiswa

Ketika dunia dikejutkan oleh pemilihan Paus baru pada 8 Mei 2025, banyak mahasiswa Katolik—termasuk saya—mungkin hanya membaca sekilas di notifikasi berita, lalu kembali tenggelam dalam tugas, rapat organisasi, atau skripsi yang tak kunjung selesai. Namun, semakin dipikirkan, pemilihan Paus Leo XIV—yang sebelumnya Kardinal Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat—bukan hanya peristiwa untuk Vatikan atau para rohaniwan semata. Ini adalah momen refleksi juga bagi kami, generasi muda Katolik yang sedang berjuang menemukan makna iman di tengah dunia yang terus berubah.
Sebagai mahasiswa, kami hidup di zaman yang serba cepat dan penuh tuntutan. Banyak dari kami merasa lelah dengan hiruk-pikuk akademik, terjebak dalam tekanan pencapaian, bahkan kadang mempertanyakan di mana posisi Tuhan dalam semua ini. Maka, hadirnya Paus Leo XIV, seorang pemimpin baru Gereja yang membawa latar belakang pastoral dan misionaris, bisa menjadi angin segar. Ia bukan hanya simbol transisi, tapi peluang pembaruan cara Gereja berkomunikasi dan hadir di tengah generasi muda.
Gereja sering kali terasa jauh bagi kami yang sedang sibuk menyusun masa depan. Homili terasa terlalu formal, komunitas kadang terasa kaku, dan ajaran moral Gereja tak jarang bertabrakan dengan realitas hidup kami sehari-hari. Tapi mungkin, justru di sinilah tantangan dan harapan terhadap Paus baru bermula: mampukah Gereja di bawah Paus Leo XIV hadir lebih membumi dan relevan bagi generasi mahasiswa?
Dalam konklaf yang memilih Paus Leo XIV, para kardinal datang dari berbagai benua, mencerminkan keberagaman umat Katolik sedunia. Sebagai mahasiswa di negara seperti Indonesia—yang penuh pluralitas dan tantangan sosial—kami ingin melihat pemimpin Gereja yang mengakui kompleksitas ini, bukan yang sekadar memberi aturan dari jauh. Kami ingin Gereja yang berdialog, bukan menghakimi; yang mendampingi, bukan sekadar mengajari.
Paus Leo XIV menghadapi tugas besar, dari reformasi internal Gereja hingga peran globalnya dalam isu lingkungan, perdamaian, dan keadilan sosial. Namun, bagi saya pribadi, tantangan terbesarnya adalah menjawab keresahan generasi muda. Bagaimana kami bisa merasa bahwa Gereja ini milik kami juga? Bahwa iman bukan sekadar warisan dari orang tua, tapi sesuatu yang hidup dan relevan?
Sebagai mahasiswa, kami tidak butuh jawaban instan dari Gereja. Kami hanya ingin tahu bahwa kami dilihat, didengar, dan diajak berjalan bersama. Jika Paus Leo XIV bisa menjadi simbol dari semangat ini—kerendahan hati untuk mendengar, keberanian untuk merangkul, dan komitmen untuk berjalan bersama umat muda—maka Gereja akan kembali hidup, bukan hanya di altar, tapi juga di ruang-ruang kelas, di grup diskusi, bahkan di timeline media sosial.
Paus memang terpilih di Vatikan, tapi harapan dan tantangannya hidup di hati umat di seluruh dunia—termasuk kami, para mahasiswa yang sedang berjuang memahami hidup dan iman di tengah dunia yang terus berubah. Maka, selamat datang Paus Leo XIV. Gereja menanti pembaruan, dan generasi muda siap berjalan bersama.
Yogyakarta, 29 Mei 2025
Maria Ervioline Putri
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY Angkatan 2021
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-6
Image by Edgar Beltrán, The Pillar, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons
No Comments