KAMAJAYA Scholarship / Opini  / Opini: #KaburAjaDulu: Potret Kekecewaan dan Krisis Harapan Generasi Muda Indonesia

Opini: #KaburAjaDulu: Potret Kekecewaan dan Krisis Harapan Generasi Muda Indonesia

Dalam beberapa waktu terakhir, jagat media sosial Indonesia diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu, sebuah frasa yang menjadi simbol kekecewaan generasi muda terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di tanah air. Ungkapan ini bukan sekadar candaan anak muda yang ingin “healing” ke luar negeri, melainkan representasi nyata dari rasa putus asa dan krisis harapan yang semakin meluas di kalangan produktif bangsa. Mereka bukan sekadar ingin liburan; mereka ingin “pergi” dan tidak kembali

Fenomena ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar tren media sosial. #KaburAjaDulu mencerminkan perasaan ditinggalkan oleh sistem pemerintahan, dikecewakan oleh negara, dan dicemaskan oleh masa depan yang tidak pasti. Banyak anak muda, bahkan mereka yang berprestasi, memilih untuk mencari kehidupan yang lebih stabil di luar negeri. Mereka menyebut Singapura, Australia, Jepang, bahkan Eropa sebagai destinasi, bukan karena glamornya, tapi karena mereka merasa bahwa di negara-negara tersebut, usaha mereka dihargai, suara mereka didengar, dan kualitas hidup mereka meningkat. 

Lalu, mengapa ini terjadi? 

Pertama, krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi menjadi penyebab utama. Banyak generasi muda merasa bahwa aspirasi mereka tidak diakomodasi oleh pembuat kebijakan. Program-program populis yang cenderung simbolik dianggap tidak menyentuh kebutuhan nyata mereka, seperti akses pendidikan berkualitas, peluang kerja yang layak, dan kestabilan ekonomi jangka panjang. Ketika janji-janji politik tidak selaras dengan realitas, yang lahir adalah frustrasi. 

Kedua, kondisi ekonomi yang stagnan dan penuh ketidakpastian juga menjadi pendorong. Dalam beberapa tahun terakhir, lapangan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan potensi generasi muda kian menyempit. Banyak sarjana berakhir di pekerjaan yang tidak sejalan dengan bidangnya. Belum lagi gaji yang tidak sebanding dengan beban hidup dan biaya pendidikan yang terus meningkat. Ketika kerja keras tidak membawa mobilitas sosial, keinginan untuk “kabur” menjadi pilihan logis. 

Ketiga, generasi muda saat ini memiliki akses informasi global yang luas. Mereka melihat bagaimana negara-negara lain memperlakukan warganya, bagaimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi, dan bagaimana sistem pemerintahan negara lain berjalan lebih adil. Kontras ini membuat mereka mempertanyakan: “Mengapa, di Indonesia, saya harus menghadapi ketidakadilan, sementara saya bisa mendapatkan peluang lebih baik di tempat lain?” 

Namun, apakah keinginan untuk “kabur” adalah satu-satunya solusi? 

Jawabannya tentu tidak sesederhana itu. Meskipun banyak yang berhasil hidup lebih baik di luar negeri, kita tidak bisa mengabaikan bahwa eksodus anak muda berbakat adalah kerugian besar bagi Indonesia. Brain drain atau migrasi talenta akan memperparah ketimpangan sumber daya manusia di dalam negeri. Negara yang kehilangan anak-anak mudanya kehilangan masa depan. Indonesia tidak akan bisa bersaing secara global jika generasi terbaiknya memilih untuk meninggalkan tanah air. 

Pemerintah dan para pemangku kebijakan harus melihat #KaburAjaDulu sebagai peringatan keras. Ini adalah sinyal bahaya bahwa ada masalah sistemik yang perlu dibenahi secara mendalam. Bukan dengan imbauan moral atau seruan nasionalisme kosong, tetapi melalui kebijakan konkret yang menyentuh kehidupan nyata: reformasi sistem pendidikan, pembukaan lapangan kerja kreatif, jaminan kebebasan berekspresi, dan penguatan rasa keadilan sosial. 

Sebaliknya, bagi generasi muda sendiri, penting untuk memaknai #KaburAjaDulu dengan lebih kritis. Kepergian seharusnya bukan bentuk pelarian, tapi penempaan diri agar suatu saat bisa kembali dan membawa perubahan. Jika memilih untuk menetap di luar negeri, jadilah duta bangsa yang tetap peduli terhadap kampung halaman. Jika masih bertahan di Indonesia, teruslah menyuarakan aspirasi dan terlibat dalam perubahan. Keduanya adalah bentuk cinta tanah air yang sah dan bermartabat. 

Akhirnya, #KaburAjaDulu bukan sekadar tren atau meme. Ia adalah potret realitas yang harus ditanggapi dengan empati, refleksi, dan aksi nyata. Kita tidak bisa memaksa generasi muda untuk mencintai negeri yang tak mencintai mereka kembali. Tapi, kita bisa mulai membangun negeri yang lebih adil, layak, dan ramah bagi masa depan mereka. 

Yogyakarta, 6 Juni 2025

Veronika Finki Nur Arditha
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UAJY Angkatan 2022
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-8

No Comments

Post a Comment

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Tanya Beasiswa KAMAJAYA