
Opini: Menghilang untuk Berkembang

Setiap orang kadang memiliki fase mereka sendiri. Fase di mana ambisi meronta-ronta, rasa insecure berlebihan, keinginan mengurung diri muncul demi memahami cara bangkit dari kegelapan yang dialami, hingga akhirnya menjalani hal-hal yang tidak nyaman. Orang lain, yang melihat dari luar, cenderung menyukai fase ambisius ini. Mereka mengira kita bisa diajak bekerja sama dan mampu melakukan segala sesuatu tanpa hambatan.
Namun yang menjadi permasalahan sekaligus pertanyaanya adalah, apakah fase ambisius ini benar-benar merupakan fase yang kita inginkan? Atau justru hanya sebuah cara untuk menyenangkan orang-orang di sekitar kita?
Beberapa orang menyebutnya dengan istilah “Back to Reality”, yakni hari-hari yang tetap harus dijalani meskipun kita sendiri tidak menyukainya. Hari yang kita lalui karena adanya keterpaksaan. Namun sebenarnya, kita tidak seharusnya melakukan sesuatu hanya karena terpaksa. Pasti ada timbal balik yang menjadi alasan mengapa kita bisa bertahan dan hidup di titik tersebut.
Menurut saya, menjadi ambisius adalah sesuatu yang menyenangkan—terutama ketika hal itu tumbuh dari dalam diri sendiri. Kita dapat menjalani hari tanpa beban dan tetap fokus pada tujuan awal. Namun tidak semua orang memiliki rasa ambisius, atau bahkan sebuah tujuan yang jelas. Sering kali, ambisi yang berlebihan justru membuat kita membandingkan diri dengan orang lain yang pencapaiannya terlihat lebih besar dari milik kita. Dan dari sinilah proses pencarian diri biasanya dimulai.
Seseorang akan menghilang dalam waktu yang cukup lama. Ia akan masuk ke dalam fase insecurity, di mana satu validasi saja tidak cukup, dan ia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan validasi lebih. Proses ini kerap disebut sebagai ‘memberi makan ego’. Sebagai manusia, wajar jika kita merasa tidak pernah puas dengan apa yang kita miliki. Pada titik ini, insecurity terlihat dari sisi negatifnya. Namun, apakah insecurity hanya berdampak buruk? Bagaimana jika ada sisi positif dari rasa insecure?
Setelah seseorang terjerumus dalam insecurity yang berlebihan, ia cenderung menggunakan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia mulai membayangkan berbagai skenario yang belum tentu nyata, dan ini dikenal sebagai overthinking. Meski terdengar negatif, proses ini justru menjadi titik balik. Ketika seseorang mulai keluar dari fase overthinking, ia mulai memunculkan solusi dari berbagai pikiran yang sebelumnya mengganggunya. Di titik inilah, insecurity dapat menjadi batu loncatan untuk naik level: meng-upgrade diri dan menemukan tujuan baru.
Seseorang yang sudah terbuka kembali dari fase insecure akan mati-matian mencari cara untuk meningkatkan diri. Ia ingin membangkitkan kembali jiwa kompetitifnya. Tujuannya berubah menjadi, “Aku ingin menjadi yang nomor satu.” Ia akan mulai masuk ke dunia yang tidak nyaman, karena sadar bahwa untuk berkembang, ia tidak boleh berdiam diri di tempat yang sama. Ia tidak ingin terjebak dalam zona nyaman. Satu kalimat yang selalu ia pegang: “Aku jabanin semuanya, asal aku dapat pengalamannya.”
Tidak semua orang menghilang karena ingin lari dari permasalahan. Terkadang, mereka menghilang karena ingin membenahi diri—langsung dari akarnya.
Yogyakarta, 14 Juni 2025
Teodulus Jonea Christworoaji
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY Angkatan 2022
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-7
Image by Larisa Koshkina from Pixabay
No Comments