KAMAJAYA Scholarship / Opini  / Opini: Fungsionalitas Keluarga

Opini: Fungsionalitas Keluarga

Keluarga merupakan sekelompok orang yang hidup bersama sebagai unit terkecil dari masyarakat yang diikat oleh hubungan kerabat, perkawinan atau hubungan lain. Keluarga terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarga, yakni ayah, ibu, dan anak yang hidup bersama dan saling membutuhkan. Keluarga juga sering dikaitkan dengan hal-hal berbau kasih, harmoni, kehangatan, tempat paling nyaman, dan sebagainya. Namun, bagaimana jika keluarga yang menjadi sumber kasih dan kehangatan justru kehilangan esensinya hingga menimbulkan luka batin?

Adakalanya kita tinggal bersama anggota keluarga yang secara lengkap terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan adik. Meskipun tinggal dalam satu atap yang sama, orang-orang dalam rumah tangga tersebut jarang melakukan komunikasi dan interaksi. Lambat laun, esensi dari sebuah keluarga mulai hilang maknanya dan yang tersisa hanyalah bangunan besar berupa rumah dengan anggota keluarga yang sibuk dengan dunianya masing-masing.

Hal yang lebih mengkhawatirkan ialah ketika terjadi pengabaian akan kebutuhan fisik dan emosional antara satu dengan yang lainnya atau secara khusus orang tua pada anaknya. Entah karena urusan pekerjaan, kegiatan sekolah, atau kesibukan lainnya, komunikasi antaranggota keluarga menjadi berkurang dan menimbulkan perasaan yang tumpul. Psikologi modern menyebut hal tersebut dengan istilah dysfunctional family atau keluarga disfungsional sebagai realita dalam masyarakat, di mana suatu keluarga menjadi lebih rentan terhadap konflik, ketegangan, dan ciri perilaku negatif tertentu.

Di dalam buku Concise Dictionary of Modern Medicine (McGraw-Hill) menyebutkan bahwa keluarga disfungsional adalah keluarga dengan banyak konflik, baik secara internal dengan antaranggotanya maupun secara eksternal dengan pihak luar. Konflik internal biasa terjadi dalam bentuk perseteruan antarsaudara kandung, konflik selisih paham antara orang tua dengan anak, hingga tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan, konflik eksternal dapat mencakup hal-hal kompleks seperti keuangan, masalah pekerjaan, dan lain sebagainya.

Kepercayaan, kasih sayang, dukungan, dan komunikasi dua arah mungkin nampak umum dan menjadi hal yang wajar bagi keluarga fungsional. Namun, hal-hal tersebut sangat dirindukan oleh anak-anak yang terlahir dalam keluarga disfungsional. Keegoisan orang tua membuat mereka terkadang tidak melihat bagaimana dampak dari keluarga disfungsional pada anak. Efek jangka panjangnya, mereka yang terbiasa menghadapi hal tersebut akan mengalami masalah ketidakpercayaan, kecemasan, benci, dan emosi negatif lainnya.

Sejak awal, kita tidak bisa memilih keluarga seperti apa yang kita inginkan, termasuk apakah kita berada dalam keluarga yang normal atau justru disfungsional. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak bisa disikapi dengan baik. Hal utama yang harus kita sadari yakni kita harus menerima diri kita seutuhnya. Menerima bahwa kita telah dilahirkan pada kondisi keluarga yang sedemikian rupa, tanpa keinginan untuk mengubah orang lain ataupun masa lalu.

Kita tidak bisa mengubah masa lalu yang telah terjadi dan dengan semakin bertambahnya usia, seharusnya kita memiliki berbagai cara untuk memandang dan memaknai kehidupan yang telah kita lalui sebagai ‘batu loncatan’ kita di masa depan. Latar belakang yang kita punya bisa menjadi pondasi yang kuat bagi diri kita dan juga memotivasi kita untuk menjadi lebih baik ke depannya.

Yogyakarta, 4 Mei 2023

Dionysius Hans Varian
Mahasiswa Program Studi Biologi UAJY Angkatan 2020
Penerima Beasiswa KAMAJAYA Angkatan ke-6

Image by congerdesign from Pixabay

No Comments

Post a Comment

×

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Tanya Beasiswa KAMAJAYA